Sabtu, 16 November 2013

Mengais Untung dari Tiwul dan Gatot

Ditulis oleh BNJ

  

Rabu, 13 November 2013 11:55

 

SEKAR ONLINE - Banyak penggemar olahan singkong mencerahkan prospek usaha tiwul dan gatot instan. Kemasan yang baik tak hanya memperpanjang masa konsumsi, tetapi juga meluaskan wilayah pemasaran. Tak heran, usaha ini bisa mendulang omzet besar dengan profit mencapai 30 persen.

 

Singkong merupakan hasil bumi yang melimpah ruah di Bumi Pertiwi. Lantaran kandungan karbohidratnya yang tinggi, salah satu jenis umbi ini pernah menjadi makanan pokok sebagian penduduk, menggantikan beras.

 

Tak heran, sejak lama pula, kita mengenal berbagai olahan singkong. Sebut saja tiwul, gatot, gaplek, getuk, hingga keripik singkong. Ragam olahan singkong pun memiliki penggemar di berbagai daerah.

 

Sayang, meski banyak penyuka tiwul, gatot, atau getuk, kini tak banyak penjual yang bisa menyajikannya. Selain itu, dalam kondisi siap saji, olahan ini tak berumur panjang, sehingga tak bisa dibawa bepergian atau menempuh perjalanan berhari-hari.

 

Alhasil, tiwul, gatot, getuk, dan lainnya, hanya bisa dinikmati di daerah-daerah, tak jauh dari tangan-tangan yang bisa mengolahnya. Namun, berbagai keterbatasan ini justru menjadi peluang bagi Hendra Widodo, pemilik UD Wijaya Food.

 

“Meski banyak yang suka, tiwul dan gatot seperti makanan langka. Padahal, jika diolah dan dikemas secara modern, tiwul dan gatot bisa menjadi makanan instan yang lebih ringkas dan tahan lama," ujar pria yang memproduksi tiwul dengan merek Jossh ini.

 

Produsen tiwul lain, Fajar Djambak, mencium peluang lantaran tiwul sulit ditemukan di daerahnya. Padahal, sebelum beras masuk ke daerahnya, yakni Kabupaten Kotabumi, Lampung, tiwul merupakan makanan utama penduduk setempat.

 

“Itu menimbulkan keinginan saya membuat tiwul olahan. Pasti banyak yang menyukainya,” ujar pemilik dari CV Jayaguna yang membuat tiwul berlabel Tiwul Enak.

 

Tak sekadar memenuhi rasa rindu, kedua pelaku produsen penganan olahan singkong ini, akhirnya juga melihat bahwa produknya banyak diburu oleh para penderita penyakit gula atau diabetes. Sebab, kandungan gula pada singkong lebih rendah, sehingga sangat baik bagi mereka yang tengah menjalani diet gula.

 

Tak hanya itu, lanjut Fajar, ada beberapa reseller yang memberi informasi bahwa beberapa penderita penyakit asam lambung juga mencari tiwul. “Alasannya kandungan asam tiwul saat di lambung rendah, sehingga bagus untuk penderita mag juga," ujar Fajar.

 

Cara menyajikan tiwul instan ini pun cukup mudah. Tiwul maupun gatot cukup direndam dengan air hangat. Tinggal menunggu beberapa menit, tiwul atau gatot siap untuk disantap.

 

Dengan penyajian instan plus pengemasan yang lebih baik, plastik tebal dan hampa udara, olahan singkong ini bisa bertahan hingga satu tahun. Fajar dan Hendra pun bisa menembus pasar yang lebih luas, hingga ke Balikpapan, Makasar, Manado, bahkan, Hong Kong. “Tiwul kemasan juga sudah masuk ke toko-toko dan ritel modern,” jelas Hendra.

 

Permintaan melimpah pun berimbas ke perputaran roda produksi di pabrik. Fajar misalnya, bisa mengolah sekitar 5 ton hingga 8 ton singkong segar, menjadi 2 ton hingga 3 ton tiwul kemasan.

 

Jumlah singkong yang diolah Hendra lebih banyak lagi, hingga 5 ton per hari. Dari jumlah itu, pabrik milik Hendra mengeluarkan produksi hingga 2 ton per hari. Selain tiwul dan gatot, Wijaya Food juga memproduksi beras cerdas dan gerit jagung dalam kemasan.

 

Beras cerdas merupakan hasil pengolahan tepung mokaf yang dibentuk mirip beras. Berbagai produk Jossh ini dikemas dalam ukuran 250 gram dengan banderol harga mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 20.000 per kilogram (kg).

 

Sementara itu, meski hanya memproduksi tiwul, Jayaguna memiliki berbagai varian produk. Fajar memilah produknya menjadi tiga kelompok, yakni high calorie, medium calorie dan low calorie. Dia mengemas dengan ukuran satu hingga dua kilogram. Harganya dipatok antara Rp 8.500 hingga Rp 10.000 per kg.

 

Kreativitas dan kejelian melihat peluang ini pun berbuah manis. Dengan berbagai produknya, Hendra bisa menuai omzet hingga 250 juta per bulan. Adapun Djambak bisa mendulang omzet Rp 75 juta hingga Rp 90 juta saban bulan.

 

Tak hanya omzet yang besar, produsen makanan olahan ini juga bisa mengantongi untung lumayan. Baik Hendra maupun Fajar bilang, margin yang bisa disisihkan dari usaha ini berkisar 30 persen. Tertarik?

 

Kualitas bahan baku

 

Berdasar pengalaman Hendra dan Fajar, memulai usaha ini cukup mudah. Pasalnya, resep pembuatan berbagai olahan singkong ini bisa dipelajari secara otodidak.

 

Ambil contoh membuat tiwul. Singkong segar dikupas dan dicuci, lalu dijemur di sinar matahari selama dua hingga lima hari hingga menjadi gaplek. Singkong kering itu kemudian difermentasi, direndam, dihaluskan menjadi mirip tepung, dibentuk menjadi butiran, kemudian dikukus. Setelah dingin, tiwul instan siap dikemas.

 

Pembuatan gatot tak jauh beda dengan tiwul. Hanya, gatot dan gerit tidak melalui proses penghalusan dan proses granulisasi atau dibentuk menjadi butir-butir lagi, melainkan langsung direndam air gula, dikukus, didinginkan, dan dikemas.

 

Jika ingin merintis usaha ini, Anda harus memperhatikan rasa tiwul yang nikmat. Untuk memperoleh rasa yang pas, cara yang paling tepat adalah belajar meracik sendiri hingga memperoleh formula racikan yang tepat.

 

Hendra dan Fajar pun mencari sendiri campuran yang tepat untuk tiwul instan mereka. Selain rasanya nikmat, kualitas singkong juga menjadi syarat utama menghasilkan produk berkualitas tinggi.

 

Tentu saja, untuk mendapatkan singkong berkualitas baik, Anda harus mempunyai trik khusus. Fajar misalnya, rela membayar lebih mahal dibanding penampung singkong lainnya sebagai pemikat petani agar mau menjual singkong berkualitas hanya kepada dirinya. "Harga singkong per kg berkisar Rp 700 hingga Rp 800. Nah, saya membeli lebih mahal Rp 100 sampai Rp 200 per kilogramnya,” jelas Fajar.

 

Selain dengan cara itu, Anda juga bisa memilih singkong yang tua agar semua dagingnya bisa digunakan. Kemudian, proses fermentasi dilakukan hingga 72 jam supaya hasilnya sempurna. “Kalau singkongnya muda, nanti tidak bisa jadi gaplek semua. Dan kalau fermentasinya terlalu singkat, warna tidak merata hasilnya,” jelas Fajar.

 

Berbeda dengan Fajar, Hendra menempuh cara lain. Untuk menghasilkan bulir-bulir tiwul yang bagus, kadar air saat pengolahan pun harus tepat. Sayang, kemampuan untuk menentukan kadar air yang tepat hanya dimiliki Hendra. “Kemampuan ini biasanya naluriah, makanya saat pengadukan dan penghalusan singkong, saya masih turun tangan sampai saat ini,” ujar Hendra.

 

Setelah pasokan singkong berkualitas aman, hal lain yang perlu dipersiapkan adalah tempat pengolahan dan mesin-mesin pengolahan. Mesin-mesin utama yang harus disediakan terdiri dari mesin penepung, pengaduk (mixer), pengukus (steamer), dan mesin granulasi (extruder).

 

Harga masing-masing mesin ini cukup bervariasi. Mesin paling murah adalah mixer, yang bisa ditebus seharga Rp 7 juta. Untuk mesin pembuat tepung, steamer dan granulasi, harganya bisa mencapai Rp 120 juta hingga Rp 250 juta per unit. “Saya memesan berbagai mesin itu dari Cimahi, Bandung. Hanya untuk mesin extruder saya impor dari Korea, karena lebih awet ketimbang extruder buatan lokal,” terang Hendra.

 

Kegiatan produksi bisa dilangsungkan di mana saja karena tak ada syarat khusus yang harus dipenuhi. Hanya, diperlukan ruang cukup luas dan lokasi untuk menjemur singkong-singkong segar di bawah sinar matahari langsung. Baik Fajar maupun Hendra memiliki lahan terbuka yang cukup luas untuk menjemur singkong yang telah dikupas tersebut.

 

Saat ini pabrik Wijaya Food di Blitar menempati lahan seluas 350 meter persegi (m2), yang terbagi menjadi 150 m2 untuk ruang produksi dan kantor, sedangkan 200 m2 untuk area penjemuran. “Dulu semuanya saya kerjakan langsung di dapur dan di ruang tamu rumah sendiri,” kenangnya.

 

Pada proses produksi, kebutuhan tenaga kerja yang cukup banyak terlihat pada proses pengupasan. Padahal, pada proses selanjutnya, tak dibutuhkan banyak karyawan karena semua sudah dikerjakan dengan bantuan mesin.

 

Nah, untuk menyiasati kondisi ini, Anda bisa merekrut tenaga lepas karena pada proses selanjutnya kebutuhan tenaga kerja tak terlalu banyak. Fajar dan Hendra pun biasanya memberdayakan jasa ibu-ibu rumah tangga di sekitar pabrik. “Saat perlu borongan, bisa sekitar 20 orang yang mengerjakan,” jelas Hendra mempekerjakan delapan orang karyawan tetap untuk menjalankan usaha ini.

 

Jika persiapan untuk produksi sudah selesai, tiba saat bagi Anda untuk memikirkan strategi promosi dan pemasaran. Berdasar pengalaman Hendra dan Fajar, pemasaran paling efektif adalah penjualan langsung ke toko-toko dan pasar tradisional terdekat. Mereka menganut sistem titip jual atau konsinyasi dengan para pedagang langganannya. "Namun, kalau ada agen atau re-seller yang datang ke pabrik dan mengambil dalam jumlah besar, saya juga memberikan diskon," terang Fajar.

 

Untuk menjangkau pasar yang lebih luas, Fajar pun membuat website sendiri. Sedangkan, Hendra cukup rajin ikut pameran yang kerap dilaksanakan oleh Badan Ketahanan pangan Tingkat Daerah.

 

"Melalui pameran, saya jadi banyak ketemu agen dan reseller," kata Hendra yang memiliki reseller hingga Banjarmasin, Makassar, dan Hongkong. (Melati Amaya Dori/KONTAN - Foto: KONTAN)

 

Sumber: www.kontan.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar